Nasib Desain Budaya di Tanah Air


Perkembangan desain baik dari segi seni rupa (art), arsitektur, digital, dan media cetak, pada masa sekarang ini semakin marak perwujudannya di dalam lingkungan sehari-hari, baik untuk konsumsi pribadi, maupun digunakan untuk bahan komersial. Penggunaanya pun sangat beragam, ada yang menggunakan gaya desain dari luar maupun secara nasional, ada yang menggunakan konsep maupun tidak, dan ada pula yang mengerti teori desain&komposisi maupun tidak sama sekali. Apabila kita menelusuri jalan-jalan di sekitar ibukota, baik di pusat maupun pinggir ibukota ini dapat kita jumpai berbagai macam nama yang terpampang di setiap kios-kios desain, ataupun semi percetakan. Hal ini semakin jelas penampakannya dan sangat berdampak pada kondisi dan kualitas desain budaya/budaya desain di Negara kita, Republik Indonesia.
Selain itu, hal serupa juga berdampak negatif pada kompetisi antar sesama desainer. Hal ini membawa dampak yang sangat merugikan bagi mereka yang memiliki gelar sebagai Sarjana Seni (dan sarjana desain/seni lainnya), karena adanya persaingan yang tidak sehat dalam ruang lingkup desain di Indonesia yang memiliki kenyataan seperti itu. Mengapa tidak, para pendiri dan pengelola kios sebagian besar adalah mereka yang bukan sarjana, melainkan hanya mahir dalam beberapa software dan hardware dalam bidang desain, ataupun paling maksimal adalah lulusan kursus desain yang tidak ada kejelasan nama institusi dan organisasinya. Sedangkan bagi para Sarjana Seni, mereka bersusah payah berjuang, bergelut dalam dunia pendidikan semasa duduk di bangku perkuliahan, menjunjung tinggi teori dan konsep, memperhitungkan nilai-nilai estetika dan etika, berkompetisi antar sesama “pejuang”, dan mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk akhirnya ia bisa mengerti dan menjadi seorang sarjana.
Akankah seorang sarjana seni dapat terus mempertahankan harga dirinya (baca : harga karyanya) jika kondisi kompetisi desain negara kita terus-menerus seperti ini? Karena mayoritas masyarakat adalah mereka yang tidak mengerti desain, konsep, teori, prinsip, dan komposisinya, asalkan sesuai selera mereka, maka desain tersebut digunakan, dan tidak memusingkan latar belakang desain itu terbentuk. Tentu saja hal ini sangat menguntungkan pihak pengelola kios-kios tersebut, karena harga yang mereka tawarkan pun jauh lebih minim jika dibandingkan dengan harga seorang desainer yang berkapasitas sebagai sarjana seni.
Akankah Sarjana Seni lebih berhasil mempertahankan kedudukannya sebagai desainer? Seharusnya iya, karena “Keberhasilan seorang pemikir desain dalam  proses berpikir kreatif dan inovatif tersebut bisa terlihat dari kemampuannya yang peka terhadap berbagai permasalahan komunikasi visual, lancar dan original dalam proses berpikir, fleksibel dan konseptual, cepat mendefinisikan dan mengelaborasi berbagai macam persoalan yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat di berbagai bidang (Tinarbuko, 2002 & 2008)”.
Semakin semerawutnya kondisi desain di Indonesia, membuat budaya desain Indonesia pun semakin lenyap dari pengorbitannya. Bagaimana tidak, sarjana seni pun, yang mengerti seni dan sebagainya, jarang menggunakan budaya nasional pada penerapan karyanya, apalagi mereka yang selaku pengelola kios-kios abal-abal tersebut. Seperti yang dikutip pada salah satu situs di internet yang di-posting pada tanggal 14 Januari 2011 kemarin, situs tersebut merupakan situs Desain Grafis Indonesia (http://dgi-indonesia.com/dekave-mati-suri/), yang membahas tentang “DeKaVe Mati Suri?”, sepenggal bahasan yang terlampir :
.................apakah budaya lokal Indonesia sudah bergeser dari porosnya? Apakah keberadaan DeKaVe (Desain Komunikasi Visual) menjadi salah satu pemicu lengsernya budaya lokal dari haribaan Ibu Pertiwi? Apakah nafas kehidupan DeKaVe sudah berhenti dalam pengertian yang sebenarnya? .................DeKaVe sedang mati suri untuk tidak mengatakan DeKaVe tewas! Kenapa demikian? Karena posisi DeKaVe Indonesia di tengah percaturan karya DeKaVe di kawasan Asia Tenggara menempati ranking paling bontot. Karya DeKaVe Indonesia jauh tertinggal dari sisi kreativitas, daya ungkap, aplikasi media, dan konsep pemecahan masalah komunikasi visual. Semuanya itu mengkristal akibat dosa asal kita yang senantiasa membanggakan diri menjadi ‘tukang desain’ bukan pemikir desain. Cara berpikir seperti itu membawa konsekuensi logis pada pendekatan, bentuk, dan isi pesan verbal-visual DeKaVe Indonesia. .................Bahkan ada yang berkomentar secara ekstrim bahwa DeKaVe Indonesia tengah dilanda krisis kreativitas dan akan berujung pada wafatnya DeKaVe Indonesia..................
Banyak dari Sarjana Seni yang menerapkan gaya desain luar sebagai rancangan pola desainnya, seperti gaya desain Art Nouveau yang sekarang ini kembali naik daun dalam peradaban desain di seluruh negeri. Mereka (mayoritas desainer) dalam penerapannya sama sekali tidak menyentuh nasionalisme, kecuali jika ada even berlangsung, baik itu even mengenai hari besar kebangsaan (seperti hari kemerdekaan, hari pahlawan, dll), maupun even tertentu (contoh : lomba desain nasionalisme bati, wayang, dll). Dimanakah rasa nasionalisme desainer di Indonesia? Kemanakah budaya Indonesia di-ungsi-kan? Sungguh tragis nasib budaya desain di Indonesia, karena kalah saing dengan budaya-budaya desain dari luar (bahkan dalam hal lain pun demikian).
Sebenarnya, wajar saja para Sarjana Seni tersebut menerapkan gaya desain dari luar seperti halnya Art Nouveau, Art Deco, Cubism, dll. Mengapa? Karena itulah ajaran aliran desain yang didapat oleh para sarjana pada masa menuntut ilmu. Memang benar kenyataannya bahwa itu merupakan gaya desain, kita boleh saja menggunakannya. Akan tetapi, milikilah pemikiran untuk mengkombinasikan gaya desain luar tersebut dengan unsur-unsur budaya desain Negara kita. Benar kenyataan, di Negara kita secara murni belum ada pencetus/pelopor teori desain, akan tetapi kita memiliki gaya desain yang khas yang telah ad sejak lama, seperti wayang dan batik, atau rumah-rumah adat yang dapat dibuat visualisasinya.
Banyak praktisi budaya dan budayawan yang memandang budaya visual sebagai wilayah cultural study yang kaya, yang merambah berbagai bidang kehidupan modern yang sarat degan fenomena baru. Sedangkan masyarakat akademis (desainer, dll) memandang budaya visual sebagai sebuah bentuk peradaban kontemporer berkaitan dengan munculnya budaya alternatif yang lahir dari masyarakat megapolitan. “Desain kontemporer sendiri berasal dari kata temporer atau waktu saat ini, menurut istilah adalah waktu yang berubah –ubah , intinya desain itu bersifat present, sedang ‘in’ / lagi ngetren atau sedang digemari”. (http://andyrahman.wordpress.com/2008/06/14/desain-kontemporer-atau-desain-modern-kahbinggung/).
Gejolak tren dari luar adalah faktor penyebab perubahan gaya desain dan penyingkiran budaya desain lokal. Mayoritas masyarakat Indonesia khususnya mereka yang lahir di jaman orde baru ini dan semenjak film asing pertama kali masuk ke Indonesia, mereka cenderung memiliki rasa kecintaan terhadap gaya hidup luar tersebut, dengan awal permulaan dengan menyukai sosok-sosok terkenal yang berasal/berada di luar negeri, seperti Negara-negara di Amerika, Jepang, Korea, dll. Disebabkan kecintaan terhadap bintang film asing lah, maka gaya dan pola hidup maupun desain semakin berubah ke arah yang merugikan budaya lokal. Hal ini juga didukunng dengan jaringan informasi yang semakin canggih dan terbuka di akhir abad ke-20 dan merupakan suatu model dunia baru yang tumbuh di berbagai Negara.

Namun di balik itu semua, dengan atau tanpa disadari, pengikisan budaya lokal adalah pembukaan jalan bagi Negara-negara/oknum-oknum yang memiliki pemikiran licik untuk menguasai desain budaya lokal kita. Seperti yang baru-baru ini terjadi, mengenai perebutan batik dengan Negara tetangga kita, yaitu Malaysia. Saya sangat yakin, apabila kita mencintai gaya desain batik yang menjadi khas bangsa ini, batik tidaklah menjadi bahan rebutan pada saat itu. Karena jika kita benar mencintai, berarti kita menggunakannya, menjaganya dan melestarikannya. Sekarang banyak dari kita menggunakannya, itu mengartikan kita mencintai atau merasa menang dari perebutan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEMBANGUN INDONESIA MERDEKA

KEMERDEKAAN DIMULAI DARI KEBIASAAN